Menggagas Pusakantara: Pusat Kecerdasan Buatan Nusantara, Sebuah “Danantara” untuk AI
Oleh Dr. Ing. Ridho Rahmadi, M.Sc. (Direktur PLAI BMD)

Rencana pemerintah untuk mendirikan pusat kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) di Jayapura beberapa waktu lalu mesti kita sambut baik, meski tak kunjung terealisasi. Kita semua sadar sekarang ini kita tengah memasuki zaman digitalisasi dan AI.Di mana-mana serba digitalisasi, di mana-mana mulai AI-nisasi. Negara-negara maju di dunia tengah berlomba-lomba mengembangkan berbagai macam teknologi yang berbasis AI.
Tentu Indonesia sebagai bangsa yang sudah merdeka puluhan tahun, dan puluhan tahun pula memiliki rekam jejak dalam pendidikan tinggi serta penelitian, kita harus turutberkompetisi dalam penguasaan AI ini. Sebagai seseorang yang berkesempatan mendalami AI, izinkan saya memberikan beberapa masukan kepada pemerintah terkait pengembangan AI di Tanah Air.
Pertama, pusat AI kita, seyogyanya menggabungkan lima komponen, yaitu Pusat Riset AI, Pusat Bisnis AI, Pusat Ahli atau Pakar AI, Pusat Funding AI, serta yang terakhir Pusat Data dan Komputasi AI.
Kedua, memang idealnya Pusat AI ini berdiri di satu tempat. Bayangkan sebuah pusat perbelanjaan atau mall yang isinya berbagai “toko” yang menawarkan produk-produk AI, memamerkan riset-riset AI, ada “bank” yang bisa membiayai projek-projek AI, ada katalog pakar-pakar AI yang siap dipekerjakan, dan ada pusat data serta superkomputeruntuk berbagai komputasi AI.
Namun jika, pemerintah berencana membangun pusat AI di Jayapura, akan terbayang betapa besar biaya mobilitas untuk bolak balik ke sana, dan bisa jadi “mall pusat AI” tersebut jadi sepi pengunjung karena lokasinya yang jauh. Terlebih dengan adanya efisiensi budgeting pemerintah, pendirian pusat AI di satu tempat bahkan di Jayapura, justru akan menjadi tidak efisien. Bayangkan dalam setiap bulan, anggaran akan tersedot banyak untuk tiket pesawat ketimbang riset pengembangan AI itu sendiri, karena para pejabat pemerintah, periset, dan juga peminat produk-produk AI harus bolak-balik Jakarta-Jayapura.
Dalam hal ini, pemerintah bisa mengambil solusi Pusat AI yang tetap menjadi satu, namun bukan dalam arti bangunan fisik. Bisa jadi pusat data dan komputasinya diletakkan di Jayapura. Hal ini tidak menjadi masalah, karena data tetap dapat diakses dan komputasi tetap dapat dilakukan dari bagian Indonesia manapun selama terkoneksi internet. Hal ini juga akan berdampak positif terhadap perkembangan infrastruktur digital di Jayapura.
Namun Pusat Riset, Pusat Bisnis, Pusat Ahli atau Talent, dan Pusat Funding dapat didirikan di suatu tempat atau beberapa tempat yang ramai, mudah diakses publik, memiliki banyak kampus dan berbagai perusahaan, seperti Jakarta atau sekitarnya. Dengan skenario ini, rencana Pusat AI tersebut insya Allah tetap dapat berjalan baik.
Ketiga, saya usulkan nama Pusat AI tersebut adalah Pusakantara, kependekan dari Pusat Kecerdasan Buatan Nusantara, menyambung semangat Danantara yang didirikan pemerintah. Supaya usulan ini lebih konkret, Pusat AI dan kelima komponen tersebut akan dijabarkan secara lebih detail.
Komponen yang pertama adalah Pusat Riset AI. Pusat Riset AI ini bertugas menemukan hal-hal baru yang sifatnya inovatif. Dia akan mencari berbagai permasalahan dan kebutuhan di dunia nyata, seperti militer dan pertahanan, kesehatan, pertanian, dan sebagainya, kemudian membangun berbagai alternatif solusi AI-nya. Melalui riset, ide dan konsep-konsep AI tersebut akan diuji secara saintifik, sebelum dibuat menjadi produk. Biasanya akademisi dari berbagai kampus yang mempunyai minat untuk melakukan riset-riset ini.
Komponen yang kedua adalah Pusat Bisnis AI. Pusat ini berisi perusahaan-perusahaan, mulai dari start-up hingga korporasi besar, yang mengembangkan dan memiliki berbagai produk AI yang sudah siap untuk dijual dan dipakai. Dapat dibayangkan, jika kita masuk ke dalam sebuah pusat perbelanjaan, kita akan melihat banyak toko dengan berbagai macam produk yang ditawarkan. Begitu juga dengan Pusat Bisnis AI ini yang berisi “toko-toko” dari berbagai perusahaan yang menjual berbagai produk-produk AI, mulai dari drone cerdas untuk militer, piranti IoT (Internet of Things) untuk pertanian, hingga aplikasi seperti ChatGpt atau DeepSeek.
Adapun Bisnis AI akan menjadi konsumen utama temuan-temuan inovatif dari Pusat Riset AI tadi. Mereka akan merealisasikan konsep-konsep hasil riset menjadi produk-produk yang berstandar industri dan siap dipakai oleh masyarakat Indonesia secara luas.
Yang ketiga adalah Pusat Ahli dan Pakar AI. Baik Pusat Riset maupun Pusat Bisnis, akan sangat memerlukan ketersediaan pakar-pakar di bidang AI. Pakar yang pertama adalah para akademisi dan peneliti yang menghabiskan waktu mendalami dan mengeksplorasi berbagai topik di bidang AI. Mereka melakukan berbagai penelitian saintifik untuk mencari jawaban-jawaban AI dari berbagai permasalahan penting bahkan permasalahan yang belum ada pemecahannya.
Sebagai contoh, penerima Nobel Prize tahun 2024 di bidang fisika adalah dua pakar AI bernama John J. Hopfield dan Geoffrey Hinton yang berjasa mengembangkan model awal AI. Tak hanya di situ, bahkan Nobel Prize 2024 untuk bidang kimia juga diberikan kepada tiga peneliti, David Baker, Demis Hassabis, dan John Jumper, yang menggunakan AI untuk menyingkap rahasia pada struktur protein yang belum terpecahkan selama 50 tahun.
Pakar yang kedua adalah pakar yang sifatnya praktis, yang tidak terlalu mendalami hal-hal yang berbau konseptual, namun memiliki skill atau keahlian untuk membangun model AI yang cerdas, atau membangun aplikasi AI yang kita gunakan di handphone, atau membuat piranti keras cerdas seperti drone, robot, dan sebagainya.
Yang keempat, adalah Pusat Data dan Komputasi. Sumber kecerdasan kebanyakan model AI, walaupun tidak semua, berasal dari data. Proses ekstraksi kecerdasan dari data ini membutuhkan komputasi yang masif dengan infrastruktur perangkat keras yang mumpuni, yang tidak bisa dilakukan dengan komputer biasa. Untuk itulah kita perlu Pusat Data dan juga Pusat Komputasi. Kita perlu memiliki Pusat Data yang menyimpan berbagai jenis data penting di Indonesia, termasuk mempersiapkan data sintetis untuk mengantisipasi kekurangan data berkualitas yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2026. Selanjutnya kita perlu memiliki superkomputer yang dapat melakukan berbagai macam komputasi untuk membangun model AI yang cerdas. Sebagai gambaran, model AI seperti DeepSeek atau bahkan ChatGPT, memiliki ratusan juta bahkan miliaran parameter yang komputasinya membutuhkan superkomputer. Ini merupakan infrastruktur yang sangat penting untuk dimiliki jika kita ingin menjadi salah satu negara yang menguasai AI.
Yang kelima atau terakhir adalah Pusat Funding atau pendanaan. Kita harus memiliki funding yang cukup untuk melakukan berbagai riset AI guna memecahkan berbagai persoalan-persoalan penting. Riset-riset di Eropa, Amerika, dan China menjadi unggul dan seringkali menghasilkan temuan-temuan breakthrough, salah satunya karena ketersediaan pendanaan yang relatif melimpah untuk penelitian.
Kemudian kita juga membutuhkan pendanaan yang cukup untuk mentransformasikan hasil-hasil riset tadi menjadi produk yang berstandar industri yang siap dipakai oleh masyarakat luas, tidak hanya dalam skala nasional, tapi juga untuk pasar internasional. Pendanaan ini dapat berupa investasi atau stimulus untuk “hilirisasi konsep” yang diberikan pada startup-startup atau bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan.
Dengan lima komponen tersebut, insya Allah kita dapat membangun sebuah Pusat AI, Pusakantara--jika nama tersebut mau dipertimbangkan--yang dapat melahirkan banyak AI yang AI. Apa itu AI yang AI? AI yang AI adalah Artificial Intelligence yang Asli Indonesia, yang dibuat oleh anak bangsa, untuk memecahkan berbagai permasalahan dan memenuhi kebutuhan bangsa, yang insya Allah akan bermanfaat dan turut membangun peradaban kita sebagai bangsa Indonesia.