Menelusuri Jejak Awal Kecerdasan Buatan dari Mimpi Kuno Hingga Konferensi Dartmouth
Oleh Prema A.D.K., S.Kom, M.Kom (Dosen AI & Robotik PLAI BMD)

Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern kita. Mulai dari asisten virtual di ponsel pintar, rekomendasi produk di toko daring, hingga sistem navigasi yang memandu perjalanan kita, AI bekerja di balik layar untuk memudahkan berbagai aktivitas. Namun, tahukah Anda bahwa konsep AI sebenarnya telah berakar jauh sebelum komputer pertama diciptakan? Mari kita telusuri bersama jejak-jejak awal pemikiran yang melahirkan revolusi teknologi ini.
Benih-Benih Pemikiran: Mitos, Filsafat, dan Mesin Awal
Jauh sebelum istilah "Artificial Intelligence" dicetuskan, manusia telah lama terpesona dengan gagasan untuk menciptakan entitas buatan yang memiliki kecerdasan atau kemampuan menyerupai manusia. Kita bisa melihat jejaknya dalam berbagai mitologi kuno, seperti Talos, robot perunggu raksasa penjaga Pulau Kreta dalam mitologi Yunani, atau Golem dalam cerita rakyat Yahudi. Kisah-kisah ini mencerminkan impian manusia untuk "menghidupkan" benda mati dan memberinya kemampuan berpikir atau bertindak secara mandiri.
Memasuki era filsafat, para pemikir mulai merenungkan hakikat pemikiran dan penalaran itu sendiri. Filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles (384-322 SM) meletakkan dasar-dasar logika silogistik, sebuah sistem penalaran formal yang menjadi salah satu pilar penting dalam pengembangan AI kelak. Upaya untuk memformalkan proses berpikir ini menunjukkan adanya keinginan untuk memahami dan mereplikasi kecerdasan.
Seiring berjalannya waktu, hasrat untuk menciptakan "mesin pintar" mulai mengambil bentuk yang lebih konkret. Pada abad pertengahan hingga era Renaisans, para ilmuwan dan insinyur seperti Al-Jazari (1136-1206) dengan automata hidroliknya, atau Leonardo da Vinci (1452-1519) dengan rancangan ksatria mekanisnya, menunjukkan upaya awal untuk menciptakan mesin yang dapat melakukan tugas-tugas kompleks secara otomatis. Meskipun belum bisa disebut AI dalam artian modern, karya-karya ini menjadi bukti nyata dari ambisi manusia untuk mereplikasi kemampuan makhluk hidup melalui rekayasa.
Fondasi Logika dan Komputasi: Menuju Mesin yang Berpikir
Lompatan besar menuju AI modern terjadi seiring dengan perkembangan ilmu logika dan matematika. Filsuf dan matematikawan seperti George Boole (1815-1864) mengembangkan aljabar Boolean, yang memungkinkan representasi logika dalam bentuk matematis. Ini adalah langkah krusial karena menyediakan bahasa formal untuk mendeskripsikan proses penalaran.
Kemudian, tokoh-tokoh seperti Charles Babbage (1791-1871) dan Ada Lovelace (1815-1852) hadir dengan visi yang lebih jauh lagi. Babbage merancang "Analytical Engine", sebuah mesin hitung mekanis serbaguna yang dianggap sebagai cikal bakal komputer modern. Sementara itu, Lovelace, yang sering disebut sebagai programmer komputer pertama di dunia, memahami potensi mesin Babbage lebih dari sekadar kalkulator. Ia membayangkan bahwa mesin tersebut suatu hari nanti bisa digunakan untuk mengomposisikan musik atau menghasilkan grafis, sebuah visi yang sangat dekat dengan kemampuan AI generatif saat ini.
Kelahiran Resmi AI: Alan Turing dan Konferensi DartmoutH
Memasuki abad ke-20, landasan teoretis untuk AI semakin kokoh. Alan Turing (1912-1954), seorang matematikawan jenius asal Inggris, memberikan kontribusi fundamental. Melalui konsep "Mesin Turing" pada tahun 1936, ia menyediakan model matematis abstrak dari komputasi, yang mendefinisikan batas-batas dari apa yang dapat dihitung oleh sebuah mesin. Lebih lanjut, pada tahun 1950, Turing mengajukan "Turing Test" dalam makalahnya yang berjudul "Computing Machinery and Intelligence". Tes ini mengusulkan cara untuk mengukur kecerdasan sebuah mesin: jika sebuah mesin dapat berinteraksi dengan manusia (melalui teks) sedemikian rupa sehingga manusia tersebut tidak bisa membedakan apakah ia sedang berbicara dengan mesin atau manusia lain, maka mesin tersebut dapat dikatakan cerdas.
Namun, momen yang sering dianggap sebagai "kelahiran resmi" bidang AI adalah Konferensi Dartmouth pada musim panas tahun 1956. Diselenggarakan di Dartmouth College, Hanover, New Hampshire, Amerika Serikat, lokakarya ini mempertemukan sekelompok ilmuwan visioner. Tokoh-tokoh penting seperti John McCarthy (yang pertama kali mencetuskan istilah "Artificial Intelligence"), Marvin Minsky, Nathaniel Rochester, dan Claude Shannon berkumpul selama beberapa minggu untuk membahas potensi mesin yang dapat mensimulasikan berbagai aspek kecerdasan manusia.
Proposal lokakarya Dartmouth dengan percaya diri menyatakan: "Studi ini didasarkan pada dugaan bahwa setiap aspek pembelajaran atau fitur kecerdasan lainnya pada prinsipnya dapat dideskripsikan secara begitu presisi sehingga sebuah mesin dapat dibuat untuk mensimulasikannya." Para peserta optimis bahwa dalam satu generasi, masalah-masalah utama AI seperti pemrosesan bahasa alami, pengenalan pola, dan pembelajaran mesin akan dapat dipecahkan.
Optimisme Awal dan Langkah Pertama
Pasca Konferensi Dartmouth, semangat optimisme melingkupi para peneliti AI. Beberapa program awal yang menunjukkan "kecerdasan" pun mulai bermunculan. Misalnya, program "Logic Theorist" yang dikembangkan oleh Allen Newell, J.C. Shaw, dan Herbert Simon pada tahun 1956, mampu membuktikan teorema-teorema matematika dari Principia Mathematica karya Whitehead dan Russell. Program ini dianggap sebagai salah satu program AI pertama yang berhasil.
Kemudian, muncul program-program lain seperti "General Problem Solver" (GPS) yang juga dikembangkan oleh Newell, Shaw, dan Simon, yang bertujuan untuk meniru strategi pemecahan masalah manusia secara umum. Di bidang permainan, Arthur Samuel berhasil mengembangkan program permainan dam (checkers) yang mampu belajar dari pengalamannya dan akhirnya bisa bermain lebih baik dari penciptanya sendiri.
Meskipun jalan yang ditempuh AI setelahnya penuh dengan tantangan, periode "musim dingin AI" (masa ketika pendanaan dan minat menurun), dan kemudian kebangkitan kembali yang luar biasa, fondasi yang diletakkan oleh para pemikir dan ilmuwan di masa-masa awal inilah yang memungkinkan kita menyaksikan kemajuan AI yang pesat seperti sekarang.
Dari mimpi kuno tentang patung yang hidup, perenungan filosofis tentang logika, hingga formulasi matematis dan konferensi bersejarah, perjalanan awal konsep AI adalah kisah tentang imajinasi, ketekunan, dan keyakinan manusia akan kemampuannya untuk memahami dan mereplikasi kecerdasan. Sejarah ini mengingatkan kita bahwa inovasi besar seringkali lahir dari gagasan-gagasan yang pada masanya mungkin terdengar seperti fiksi ilmiah.