Apakah AI Mengancam Eksistensi Dokter? - Article Politeknik AI BMD
Artificial Intelligence

Apakah AI Mengancam Eksistensi Dokter?

Oleh Dr. Ing. Ridho Rahmadi, M.Sc. (Direktur PLAI BMD)

19 Juli 2025 Artificial Intelligence
apakah-ai-mengancam-eksistensi-dokter

Apa jadinya kalau kita gabungkan beberapa AI untuk mendiagnosis penyakit? Microsoft telah melakukannya. Mereka mengembangkan AI Diagnostic Orchestrator, yang mengorkestrasi lima Dokter AI untuk bekerja bersama-sama. Hasilnya cukup mengagetkan. Dari uji coba pada 304 kasus klinis, 21 dokter manusia dengan pengalaman 6 hingga 24 tahun, hanya memperoleh akurasi diagnosis sekitar 20% dengan rata-rata biaya diagnosis sebesar 2963 Dollar Amerika per kasusnya. Sedang Microsoft AI Diagnostic Orchestrator, pada uji coba tersebut, memperoleh akurasi diagnosis lebih dari 80%, yang artinya empat kali lipat akurasi dokter manusia yang sudah berpengalaman. Bahkan Microsoft AI Diagnostic Orchestrator berhasil memangkas biaya diagnosis lebih murah hingga 20%. Singkat cerita, dalam uji coba tersebut, AI lebih akurat dan lebih murah. Yang menarik adalah, konsep Microsoft AI Diagnostic Orchestrator sesungguhnya terbilang sangat sederhana. Pertama, kelima Dokter AI tersebut diberi peran yang berbeda; ada yang tugasnya memberikan hipotesis penyakit dalam tahapan awal sebuah diagnosis; ada yang tugasnya bertanya bagaimana jika hipotesis tersebut salah; ada yang tugasnya memilih tindakan medis yang tepat; ada yang membatasi biaya tindakan sehingga tidak terlampau mahal; dan ada yang mengecek jika semua langkah-langkah telah dilaksanakan dengan rapi dan benar. Selanjutnya kelima Dokter AI tersebut akan berdiskusi dan berdebat, sebelum memutuskan setiap pertanyaan yang akan ditanyakan, setiap tindakan yang akan diambil, dan akhirnya, setiap diagnosis yang akan diberikan. Sebagian akan bilang, bagaimanapun akurasi AI, tidak akan pernah bisa menggantikan Dokter manusia. Sebagian yang lain akan membalas, cepat lambat AI akan menggantikan Dokter, atau bahkan profesi lainnya. Menurut saya, fokus kita seharusnya bukan pada jawaban ya atau tidak atas 1 kedua pertanyaan tersebut; tapi lebih ke bagaimana kita mempersiapkan diri untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi. Mempercayakan sepenuhnya kepada AI, agaknya kurang bijak. Karena bagaimanapun AI adalah makhluk stokastik, yang probabilistik, yang mirip manusia, dia bisa juga melakukan kesalahan. Tapi memang kelebihan AI adalah konsistensi dalam pekerjaan yang sifatnya generatif, repetitif, automasi, dan yang membutuhkan tingkat kepresisian tinggi. Dalam hal kecerdasan, AI itu mirip manusia. Karena memang sumber kecerdasan AI itu berasal dari manusia atau dunia manusia, yang sebagian besar diekstrak dari data. Kalau memang berasal dari manusia, lalu mengapa akurasi AI bisa lebih tinggi dari manusia? Jawabnya, karena variabel stokastik AI yang merepresentasikan ketidakpastian, sudah diperkecil deviasinya melalui proses training yang masif dengan komputasi yang intensif. Sedang variabel stokastik manusia itu laten atau unobserved, lebih kompleks dan lebih tak terduga deviasinya jika dibanding dengan variabel stokastiknya AI yang sudah ditraining. Sehingga kita kadang melihat, human error itu lebih besar dibanding dengan machine error. Tapi di sisi positif, ruang deviasi manusia yang luas inilah yang mengantarkan manusia melintasi ribuan tahun perubahan zaman dan membangun peradaban, termasuk menciptakan AI itu sendiri. Kalau kita berpikir dari perspektif bahwa AI adalah kopi dan ekspansi dari kecerdasan manusia, mari kita mulai berpikir untuk menyelaraskan manusia dengan AI. Bukan malah menghadap-hadapkannya sebagai sesuatu yang berlawanan. Yaitu menjadikan AI sebagai tools yang sifatnya komplementer, bukan subtitusi apalagi oposisi. Kenyataannya kita memang telah menggunakan AI dalam aktivitas sehari-hari kita. Namun di sini, kita sedang berbicara tentang AI dalam dunia klinik yang tidak bisa serta-merta langsung digunakan, karena berurusan dengan kesehatan atau nyawa manusia. Kembali lagi pada pokok bahasan, Dokter manusia yang dibantu AI, akan jadi perpaduan diagnosis yang berakurasi tinggi dan berbiaya. Mengapa tidak? 2 Mungkin ini akan lebih relevan pada situasi di Indonesia yang dihadapkan pada isu kualitas, ketersediaan, dan keterjangkauan biaya dari layanan kesehatan. Barangkali, untuk kita bayangkan, ketika kita sakit, kita diperiksa pertama kali oleh Dokter AI. Entah itu melalui aplikasi, atau datang ke Rumah Sakit atau Puskesmas. Kemudian hasil asesmen oleh Dokter AI tersebut divalidasi oleh Dokter manusia. Dari hasil validasi tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan diagnostik dan tindakan medis, dan lain sebagainya, yang bisa juga kembali melibatkan AI di dalam prosesnya. Mungkin konsep seperti ini bisa mengurai masalah antrian. Seumpama Dokter AI ke dalam sebuah aplikasi, maka 1 atau 1000 pasien sama saja, sama-sama bisa mengakses Dokter AI dalam satu waktu. Minimal diagnosis awal yang sangat krusial bagi seorang pasien dapat segera diberikan. Konsep seperti ini juga barangkali dapat menekan biaya pengobatan bagi pasien. Selain karena rekomendasi dari AI akan didesain untuk memberikan opsi klinis yang lebih ramah budget, juga karena pekerjaan manusia nya berkurang untuk setiap pasien yang datang. Lalu apakah para dokter atau rumah sakit akan bangkrut? Tidak. Justru sebaliknya, malah mungkin akan semakin bertambah pendapatannya. Karena secara logika konsekuensi kebutuhan biaya untuk manusia, menjadi terdistribusi secara proporsional pada banyak pasien lainnya; berasumsi jumlah pasien meningkat karena konsep ini memungkinkan lebih banyak pasien untuk ditangani. Sehingga secara matematika: jumlah pasien yang ditangani menjadi lebih banyak, di mana setiap pasien membayar dengan lebih murah, dan yang juga penting, pendapatan dokter dan Rumah Sakit tidak berkurang, malah mungkin bertambah. Memang isu selanjutnya adalah biaya yang terkait dengan tindakan medis yang menggunakan alat dan bahan yang tidak kemudian bisa digantikan dengan AI. Ini sebuah bahasan lain yang juga harus mulai dipikirkan, dan idealnya kemajuan teknologi dan AI di masa depan diorientasikan pada inovasi klinis yang terjangkau secara harga. 3 Konsep seperti ini, adalah satu di antara banyak konsep lain yang mungkin dibangun di dalam semangat menyelaraskan manusia dan AI dalam dunia klinik. Indonesia harus bersiap menjawab dengan beberapa langkah konkret. Pertama, tentu pemerintah, yang bertanggungjawab untuk membuat regulasi. Pemerintah harus membuat regulasi yang melindungi Pasien, Dokter, dan Rumah Sakit. Regulasi tersebut harus menata segala sesuatu pada tempatnya. Dokter manusia pada tempatnya, Dokter AI pada tempatnya, Rumah Sakit pada tempatnya, dan lain sebagainya, terintegrasi secara harmonis memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik. Regulasi tersebut juga harus memastikan, AI yang dipakai adalah AI yang AI. Yaitu AI yang Asli Indonesia, yang dibuat dengan memperhatikan etik dan nilai-nilai kemanusiaan yang Pancasilais, dan tidak kapitalistik yang hanya ingin mengeruk keuntungan. Pemerintah juga harus memastikan regulasi tersebut dijalankan dengan baik, tidak hanya menjadi tumpukan dokumen yang perlahan usang dan tidak pernah dipakai. Kedua, pemerintah, industri, dan perguruan tinggi, baik masing-masing dan juga secara kolaboratif, harus berlomba-lomba di dalam mengembangkan berbagai inovasi AI yang terjangkau untuk dunia klinik. Di dalam pengembangan ini, diperlukan infrastruktur komputasi yang mumpuni, ide-ide riset yang breakthrough, dan tentu pendanaan yang cukup. Dengan alokasi dana dan pikiran dari Pemerintah dengan APBN-nya, swasta dan perguruan tinggi dengan anggarannya, rasa-rasanya masa depan AI di Indonesia akan cerah. Jangan sampai kita berdiam diri, terlambat mengantisipasi. Karena bukan tidak mungkin kalau sampai terlambat, kita akan melihat teknologi AI dari luar, perlahan menggantikan peran sebagian Dokter dan sebagian layanan di Rumah Sakit. Bukan saja kemudian kita tidak bisa mengawasi dan memastikan keabsahan teknologi AI asing yang masuk tersebut, tapi pada waktunya, kebangkrutan dunia klinik di Indonesia menjadi sesuatu yang tidak terelakkan, karena uangnya disedot habis keluar negeri oleh teknologi asing yang kapitalistik. 4 Untuk itu mari kita bersiap dan mulai bergerak. Uraian yang saya sampaikan tadi, masih sangat perlu dipertajam dengan banyak pikiran. Untuk itu, masukan dan diskusi akan sangat diapresiasi.